Gagasan.

Menegakkan Etika Jurnalistik: Menghindari “Pemelintiran” Berita

POSTED : 13 September 2015 | CATEGORY : Gagasan

Moderator mengatakan bahwa apa yang mereka diskusikan siang itu bukan hal baru, tapi pemelintiran ini harus selalu dicari solusinya oleh berbagai pihak. (Moderator, Rieke D.P., Prof. Bagir Manan,

Moderator mengatakan bahwa apa yang mereka diskusikan siang itu bukan hal baru, tapi “pemelintiran” berita harus selalu dicari solusinya oleh berbagai pihak. (Dari kiri: moderator, Rieke DP, Bagir Manan, Kamsul Hasan, dan Nurjaman Moechtar)

Penegakan standar jurnalisme di Indonesia kembali menjadi isu hangat setelah sebuah berita di cnnindonesia.com pada 18 Agustus dinilai “memelintir” pidato Megawati Soekarnoputri terkait keberadaan KPK. Redaksi CNN Indonesia sudah meminta maaf, tapi apa yang bisa dilakukan supaya “pemelintiran” berita dan pengabaian etika jurnalistik lain bisa diminimalkan?

Tantangan itu menjadi topik diskusi “Penegakan Etika Jurnalistik” pada Senin (7/9) di Ruang Pers DPR RI. Empat pembicara yang hadir adalah Ketua Dewan Pers Prof. Bagir Manan, Ketua PWI Pusat Kamsul Hasan, Anggota Komisi IX Fraksi PDI-Perjuangan Rieke Diah Pitaloka, dan wartawan senior televisi Nurjaman Moechtar.

Yang pertama berbicara adalah Rieke Diah Pitaloka. Menurutnya, kualitas jurnalisme yang kurang baik disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah tuntutan kerja jurnalis yang semakin berat. Untuk itu, kita juga perlu memiliki undang-undang untuk memastikan perlindungan dan kesejahteraan awak media.

Secara khusus Rieke menyoroti para wartawan media online, yang menurut pengamatannya harus mengirim berita hingga lebih dari 10 artikel per hari. “Saya melihat mereka harus kejar setoran, harus lari dari satu komisi (di DPR) ke komisi yang lain, bahkan mengkloning berita,” kata Rieke.

Rieke mengatakan bahwa Fraksi PDI Perjuangan sedang memperjuangan supaya RUU Perlindungan Pekerja Media masuk ke dalam Prolegnas 2016. “Saat menyusun Prolegnas 2015, kami tidak mendapat dukungan yang cukup untuk ini, padahal ini penting untuk mengatur hak-hak pekerja media, termasuk kontributor dan stinger,” kata Rieke.

Sementara itu, Ketua PWI Pusat Kamsul Hasan, mengatakan bahwa Dewan Pers sesungguhnya sudah mengupayaan penegakan kualitas liputan, melalui pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik. “Wartawan yang melanggar kode etik dengan klasifikasi ringan, seperti pemelintiran berita, izin kompetensinya bisa dibatalkan, dan setelah dua tahun bisa ikut tes lagi. Sementara untuk klasifikasi berat, seperti menerbitkan berita bohong dan memeras, izin kompetensinya dicabut,” kata Kamsul Hasan.

Namun, tambah Kamsul, masih banyak perusahaan media yang mempekerjakan wartawan tanpa sertifikat kompetensi. “Baru sekitar 7 ribu wartawan yang punya sertifikat, dari jumlah total 80 ribu wartawan,” kata Kamsul.

Kamsul mencontohkan bahwa Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers pasal 1 dan 3, tentang akurasi dan verifikasi kalimat bersayap,  merupakan upaya mencegah berita pemelintiran. Selain itu, pemelintiran juga bisa melanggar pasal 4 yang mengatur tentang berita bohong.

Pembicara lain, Ketua Dewan Pers Prof. Bagir Manan, mengatakan bahwa kita harus bisa membedakan tindakan memelintir berita dari kesalahan tidak sengaja. “Pemelintiran berita jelas pelanggaran kode etik dan tindakan yang disengaja. Saya mendefiniskan pemelintiran sebagai memberitakan suatu kenyataan atau keterangan narasumber dengan tidak sesuai atau tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan atau kehendak narasumber itu,” katanya.

Menurutnya, kode etik merupakan mahkota bagi kaum profesional, di lapangan pekerjaan apa pun, yang akan menentukan seseorang itu profesional atau tidak.

Prof. Bagir Manan menguraikan tiga dasar yang menjadi landasan kerja suatu profesi.

Pertama, profesi bekerja atas dasar kepercayaan, individual maupun komunitas. Pers bekerja atas dasar kepercayaan publik. Jurnalis punya kewajiban menjaga kepercayaan itu. Sifat pekerjaan wartawan itu berorientasi klien, dengan klien ini adalah publik. Ini sama dengan dokter, dengan pasien sebagai kliennya.

Kedua, bekerja atas dasar tanggung jawab pribadi. Di sini wartawan bekerja seperti halnya dokter dan pengacara. Wartawan bertanggung jawab atas apa yang ia tulis dan terbitkan. Ini bukan tanggung jawab kelembagaan.

Ketiga, bekerja atas dasar kebenaran. Wartawan berusaha menemukan dan menegakkan kebenaran. Kalau pekerjaan non profesi, tindakannya bisa benar secara hukum tapi belum tentu benar secara tanggung jawab pribadi. Untuk wartawan profesional, tindakannya harus benar secara hukum sekaligus tanggung jawab pribadi.

Prof. Bagir Manan menekankan bahwa semua nilai itu menjadi dasar dari kode etik jurnalistik.

Selanjutnya, wartawan senior televisi Nurjaman Mochtar mengatakan, jurnalisme itu pada dasarnya memilih, yakni memilih informasi, narasumber, dan gambar untuk televisi. “Pemilihan ini bisa dilandasi niat baik atau niat jelek. Kita sebenarnya tahu apakah kita berusaha merugikan suatu pihak atau tidak. Bila ini dilakukan, kita bisa bertanya, betulkah kita masih wartawan?”

Nurjaman menambahkan, wartawan televisi memiliki kewajiban lebih. Selain menaati kode etik Dewan Pers, mereka juga harus menaati P3 SPS Komisi Penyiaran Indonesia. “Tanggung jawab mereka memang berat, tapi ini penting demi kelangsungan jurnalisme dan bisnis televisi itu sendiri,” katanya.