Gagasan.

Menuju Digitalisasi Televisi yang Demokratis

POSTED : 21 April 2015 | CATEGORY : Gagasan | TAGS: , , ,

Pengguna televisi di negara-negara maju sudah lama menikmati semua keunggulan siaran televisi digital, antara lain kualitas gambar dan suara lebih baik serta pilihan program siaran yang jauh lebih beragam. Penyiaran di Indonesia sedang mempersiapkan diri untuk bermigrasi dari teknologi analog ke digital itu. Komisi I DPR RI sedang membahas RUU Penyiaran sebagai bagian dari Prolegnas 2015, dengan  digitalisasi televisi menjadi salah satu topik utamanya.

Di negara yang sudah melaksanakannya, momen migrasi ini dimanfaatkan untuk memperbaiki segala kelemahan yang ada dalam penyiaran analog, dari aspek teknis hingga bisnisnya, sehingga tercipta pernyiaran yang lebih berkualitas dan beragam. Persoalan penyiaran memang tidak sederhana, dan konsekuensinya pun sangat besar bagi kehidupan suatu bangsa. Bagi Indonesia, mengingat masih banyaknya kelemahan dalam penyiaran analag, migrasi ini harus sungguh direncanakan secara matang dan dilakukan secara serius.

Kelemahan-kelemahan utama dalam penyiaran Indonesia saat ini sudah sering diangkat oleh berbagai kelompok masyarakat sipil. Kelemahan mendasar itu antara lain kepemilikan stasiun televisi yang berpusat di beberapa tangan (oligarki) dan penyiaran yang Jakarta-sentris. Kerugian yang diakibatkan dari situasi ini begitu besar dan terlihat, yakni monopoli informasi, stasiun televisi yang sangat partisan dalam Pilpres 2014, tayangan  yang sering menuai protes warga karena tidak berkualitas, bangkrutnya televisi lokal di banyak daerah, dan negara pun gagal menghadirkan kebhinekaan informasi bagi masyarakat.

Prolegnas 2015 ini menjadi sangat penting untuk membenahi dunia penyiaran yang kacau balau. Digitalisasi ini harus dimanfaatkan sebagai momen untuk memulai lembaran yang sama sekali baru.

Keruwetan Payung Hukum

 Saat ini, bisa dikatakan belum ada regulasi apa pun yang mengatur penyelenggaraan siaran televisi digital. Sebelum ini, Kemenkominfo pernah memilikinya, dalam bentuk Peraturan Menteri Kominfo No. 22 tahun 2011 tentang penyelenggaraan siaran TV digital terestrial (free to air). Peraturan menteri sesungguhnya kurang kuat untuk memayungi suatu isu sebesar digitalisasi penyiaran yang begitu kompleks.

Tidak mengherankan jika kemudian Permen No. 22 itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada 2013 karena tidak memiliki dasar hukum dalam Undang Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran. Putusan MA juga membatalkan ketentuan switch-off  (penutupan total siaran analog dan menggantinya dengan digital) pada 2018, dan menganggap pembagian pemain penyelenggara multipleksing dan lembaga penyiaran tidak berlaku karena tidak memiliki dasar hukum.

Peraturan tersebut pada intinya membagi industri penyiaran menjadi dua, yakni penyelenggara multipleksing (penyedia infrastruktur siaran digital) dan penyelenggara isi siaran (content provider). Lalu, peraturan itu menentukan bahwa semua lembaga penyiaran swasta (LPS) yang telah memperoleh izin di analog otomatis mendapat izin siaran digital, meskipun tidak semua LPS dapat menjadi penyelenggara multipleksing.

Jika Permen No. 22 itu berlaku, kanal-kanal digital itu akan dikuasai lagi oleh LPS di Jakarta yang selama ini mendominasi penyiaran analog, sekaligus meminggirkan lembaga penyiaran lokal yang sangat berpotensi mengangkat berbagai keunggulan di daerah.

Pembatalan terhadap Permen No. 22 itu juga dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara pada 5 Maret 2015, dengan mengabulkan gugatan Asosiasi Televisi Jaringan (ATVJI). Keputusan PTUN ini pun membatalkan izin siaran televisi digital 33 perusahaan yang telah ditunjuk Kominfo sebagai lembaga multipleksing di Indonesia.

 

Lembaran Baru

Oleh karena itu, RUU Penyiaran dalam Prolegnas 2015 semestinya bisa memberikan payung hukum yang baik dan demokratis untuk menentukan tata cara migrasi siaran analog ke digital serta wajah siaran digital Indonesia di masa depan.

Saya telah mengikuti sejumlah diskusi yangmelibatkan beragam pihak terkait, seperti akademisi, badan regulasi, aktivis penyiaran, serta pengelola televisi jaringan dan lokal. Berdasarkan aspirasi yang saya catat, ada tiga hal utama yang mereka ingin ketahui dari regulasi digitalisasi, yaitu pola teknis, pola bisnisnya, dan akomodasi kepentingan warga.

Untuk pola teknis, ada banyak sekali aspek yang harus diulas, misalnya apakah benar warga perlu memasang set-top box di pesawat televisinya supaya bisa menerima sinyal digital? Biaya pengadaaan set-top box itu sangat besar dan direncanakan oleh Kominfo untuk diambil dari anggaran negara. Ternyata, secara teknologi, set-top box bisa dihindari bila industri pabrik televisi di Indonesia diberitahu untuk membuat pesawat televisi yang digital. Selain itu, harus dibuat aturan main yang jelas untuk membedakan penyedia infrstruktur (multiplexer) dan penyedia program siaran (content provider). Jangan sampai keduanya nanti dimonopoli oleh LPS besar di Jakarta dan meminggirkan pemain-pemain lokal di daerah yang potensinya besar.

Kemudian, switch-off (penutupan siaran analog secara total) juga harus betul-betul dipikirkan karena kondisi geografi dan demografi Indonesia yang sangat luas dan beragam. Bila wilayah DKI Jakarta, misalnya, sudah siap dengan teknologi digital pada 2018, belum tentu seluruh warga di Maluku Utara sudah siap pada 2018. Negara maju seperti Kanada pun tidak melakukan penutupan sinyal analog secara total. Regulator penyiaran di sana tetap mengizinkan televisi dengan jangkauan frekuensi kecil untuk tetap bersiaran secara analog.

Untuk pola bisnis, hal utamanya adalah aturan main yang jelas dan adil mengenai perbedaan antara penyelenggara multipleksing (penyedia infrastruktur siaran digital) dan penyelenggara isi siaran. Jangan sampai pola bisnis dalam era digital kembali mengulang oligarki stasiun televisi besar di era analog.

Bila keberagaman pemilik dan isi siaran televisi bisa diciptakan, niscaya masyarakat akan menikmati program siaran yang lebih beragam. Dengan mengakomodasi pemain-pemain baru dalam industri kreatif (terutama anak muda), isi siaran pun layak diharapkan untuk meningkat kualitasnya.

Digitalisasi penyiaran memang lebih efisien dalam penggunaan frekuensi: satu frekuensi yang dulunya hanya bisa untuk satu siaran analog, dengan teknologi digital bisa dipakai untuk 6 hingga 12 program siaran.  Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang teknlogi ini demi sebesar mungkin keuntungan masyarakat luas.