Gagasan.

Sensor Internet, Menghindari Represi dan Politisasi

POSTED : 02 May 2015 | CATEGORY : Gagasan | TAGS:

(Tulisan ini dimuat di Media Indonesia pada 11 April 2015)

Tren peningkatan pengawasan oleh pemerintah terhadap kegiatan dan isi di internet yang terjadi di berbagai negara menunjukan bahwa ada kekhawatiran terhadap dampak internet bagi masyarakat, baik dari aspek ekonomi, politik maupun keamanan. Yang menarik untuk dicermati adalah dasar asumsi dan bentuk regulasi negara terhadap konten internet, yakni apakah tindakan tersebut dapat dikategorikan dalam aras demokratis atau otoritarian? Dalam konteks Indonesia, isu ini penting untuk menakar kekhawatiran munculnya kembali penyalahgunaan kekuasaan yang otoriter.

Pendekatan sensor internet berdasarkan perbedaan ideologi atau cara pandang mengelola kekuasaan masih terjadi seperti di negara China, Syuriah, Mesir, Iran, Korea Utara dan beberapa negara lainnya. Mereka meniadakan mekanisme komplain yang bisa dilakukan oleh pengelola situs atau individu yang merasa terganggu aktivitasnya.  Proses sensornya juga dilakukan sepihak oleh kekuasaan tanpa ada pemberitahuan dan pembinaan sebelumnya. Publik juga tidak dapat menuntut akutabilitas proses pengambilan keputusan . Prinsip-prinsip sensor di atas menjelaskan watak otoritarian kekuasaan yang mengabaikan hak komponen warga negara.

Namun, pemblokiran situs internet oleh pemerintah juga tidak otomatis bertentangan dengan prinsip demokrasi selama ini dilakukan secara legal dan transparan untuk melindungi keamanan dan keselamatan warga. Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana negara demokrasi maju juga melakukan blokir, misalnya untuk situs yang mempromosikan ISIS, pornografi anak, dan revenge pornography. Blokir ini dilakukan tanpa perintah pengadilan karena internet sangat cepat, sehingga pengendalian kerusakannya pun juga harus cepat.

Selain pendekatan politik, alasan sensor internet pada praktinya menyangkut beberapa kategori. Seperti kategori muatan ekonomi menyangkut situs yang memuat konten yang melanggar hak cipta, kategori kriminalitas judi, perdagangan obat bius, perdagangan manusia, pornografi. Kategori kekerasan glorifikasi terorisme, siar kekerasan, siar kebencian. Kemudian kategori keamanan, semisal situs yang kontennya berisi malware, ddos, phising, dan virus yang dapat merusak sistem, jaringan maupun data (Mugiyo, 2015).

Dalam konteks Indonesia, payung hukum sebagai dasar kewenangan yang dimiliki pemerintah dalam hal pemblokiran situs adalah Permen Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 yang mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam aturan tersebut telah diatur mekanisme komplain, pelibatan masyarakat serta uji publik dalam keputusan yang diambil. Persoalan yang seringkali mengemuka adalah bagaimana menjaga tindakan pemblokiran tidak digunakan untuk kepentingan kekuasaan pada satu sisi dan politisasi kepentingan pencitraan politik pengontrol kekuasaan pada sisi yang lain.

Sinyalemen politisasi atas kasus pemblokiran yang harus dikontrol misalnya bagaimana agar parlemen didorong untuk berimbang dalam penggalian informasi dan aspirasi dari pihak yang merasa dirugikan atas pemblokiran situs. Aturan main dalam mekanisme rapat yang digunakan harus mengedepankan prinsip yang telah diatur dalam mekanisme rapat parlemen.

Dalam pandangan penulis, politisasi terhadap kasus pemblokiran memiliki dampak negatif terhadap kebhinekaan yang menjadi prinsip dasar kita dalam berbangsa dan bernegara. Maka kemudian ukuran pendekatan dalam penilaian konten negatif menjadi penting untuk sama-sama kita pahami. Untuk mengeliminir hal tersebut saya sependapat dengan pendekatan terminologi legal atau ilegal. Konten negatif dinyatakan ilegal ketika berisikan ajakan yang membahayakan. Sedangkan konten negatif yang isinya tidak sampai membahayakan keselamatan umum, prosedur hukum normal masih bisa digunakan. Sepanjang prinsip-prinsip tersebut diperhatikan dalam pandangan penulisan hal tersebut masih dalam koridor pendekatan demokratis.

Meknisme dan praktik pengawasan dan pengaturan yang adal selama ini memang belum sempurna menurut hemat penulis paling tidak ada beberapa hal yang dapat diperhatikan dalam memperbaiki tata aturan akses internet ke depan. Semisal, penggunaan istilah terminologi dalam surat perintah pemblokiran, situs-situs tersebut diblokir karena memuat isi yang membahayakan masyarakat (pertimbangan keamanan), bukan karena radikal, karena pengertian radikal belum tentu memuat isi yang membahayakan.

Kemudian jika dalam suatu situs hanya memuat beberapa halaman yang membahayakan, cukup diblokir beberapa halaman tersebut saja, tidak perlu seluruh situs/domain. Kemenkominfo harus memiliki mekanisme pengaduan dan normalisasi situs. Sehingga pengelola situs yang diblokir bisa membuat pengaduan dengan prosedur yang jelas. Apabila ternyata situs itu kemudian dinilai tidak berbahaya, bisa dilakukan normalisasi terhadap situs tersebut. Transparansi ini juga termasuk kriteria apa saja yang dipakai sebagai pertimbangan untuk menilai sebuah konten internet itu membahayakan masyarakat.

Pemanfaatan teknologi untuk melemahkan akses pada situs konten berbahaya bisa menjadi tindakan alternatif dalam kerangka pencegahan. Saya juga mengapresiasi langkah pemerintah dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat, Ini meningkatkan kualitas pemahaman dalam dimensi sosial keagamaan terkait perumusan keputusan dalam menyikapi konten berbahaya di internet.