Gagasan.

Solidaritas ASEAN terhadap Rohingya

POSTED : 10 June 2015 | CATEGORY : Gagasan

Opini ini dimuat di Harian Jawa Pos pada 22 Mei 2015

MENGHADAPI krisis kemanusiaan ribuan pengungsi Rohingya yang kini di laut dan mencari daratan, kita sebagai bangsa yang bermartabat hanya memiliki satu pilihan: membantu mereka. Dengan pilihan itu, yang menjadi diskusi adalah bagaimana wujud bantuan tersebut di tengah berbagai tantangan yang ada.

Sebagai anggota DPR yang awal April lalu mengunjungi Myanmar dalam misi ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), menurut saya, ada tiga tantangan utama dalam kasus pengungsi Rohingya. Yaitu Myanmar yang tidak mengakui mereka sebagai warga negara, sebagian pengungsi adalah warga yang dijanjikan pekerjaan dan dimobilisasi agen buruh ilegal, serta jumlah pengungsi yang sangat banyak dan akan terus bertambah di kemudian hari.

Lalu apa wujud kepedulian dan bantuan kita sebagai negara anggota ASEAN? Pertama, yang harus kita tempuh saat ini adalah solusi jangka pendek terlebih dahulu. Sebab, kita tidak bisa membiarkan mereka kelaparan dan meninggal di laut. Mengusir pengungsi Myanmar melanggar konvensi internasional tentang penyiksaan. Iktikad baik Presiden Joko Widodo mau menerima pengungsi seharusnya diterjemahkan seluruh aparatur negara yang terkait. Bukan malah berbeda pandangan dan reaktif cenderung mengusir pengungsi.

Kita bisa menampung mereka di kamp penampungan sementara. Ini adalah prinsip kemanusiaan dan etika maritim global. Seperti halnya para nelayan Aceh yang membantu mereka secara spontan karena para nelayan itu juga pernah dibantu warga asing saat membutuhkan pertolongan di laut.

Bagi orang Rohingya, ini sudah menjadi perkara hidup-mati dan para pengungsi tersebut tidak membawa senjata ataupun berpotensi membahayakan keamanan dalam jangka waktu pendek ini. Selain itu, dalam penanganannya, jangan sampai para pengungsi tersebut hanya bergantung pada kebaikan dari lembaga-lembaga internasional, juga program-program kemanusiaan. Sehingga diperlukan solusi komprehensif. Sebab, jika terjadi pembiaran terlalu lama di rumah detensi, akan lahir masalah-masalah sosial tersendiri.

Kedua, sambil melakukan hal di atas, kita harus mengedepankan langkah diplomatik dalam mencari solusi regional. ASEAN memang menjalankan prinsip nonintervensi dalam hubungan antaranggota, tapi krisis Rohingya bukan lagi perkara internal Myanmar. Itu sudah menjadi perkara regional. Langkah diplomasi tersebut juga sedang dilakukan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang menemui menteri luar negeri Malaysia dan Thailand pada 20 Mei di Malaysia. Saya sangat mengapresiasi respons pemerintah dalam hal ini. Inisiatif melakukan pertemuan regional yang dilakukan menteri luar negeri adalah momentum penguatan solidaritas ASEAN dalam masalah-masalah kemanusiaan.

Negara ASEAN bisa mengambil contoh bagaimana negara-negara Uni Eropa (UE) menangani pengungsi Afrika yang mencari suaka dengan mengarungi Laut Mediterania. Awalnya para pengungsi yang bertolak dari Libya itu memang kesulitan mencari tempat. Tapi, pertimbangan kemanusiaanlah yang akhirnya mendorong negara-negara UE untuk duduk berdiskusi mencari solusi regional bagi masalah tersebut. Tingkat kompleksitas pengungsi Afrika itu jauh lebih tinggi daripada pengungsi Rohingya. Selain jumlah mereka yang lebih besar, asal pengungsi berada di luar kawasan regional mereka.

Langkah diplomasi tersebut, meski sulit dan lama, adalah satu-satunya harapan untuk menemukan solusi atas tiga tantangan utama di atas. Langkah riil juga perlu dibicarakan dan diambil untuk menghentikan arus pengungsi Rohingya dari asalnya.

Indonesia adalah negara di ASEAN yang demokrasinya paling maju. Pemilihan umum presiden langsung yang sukses tahun lalu dipuji negara-negara ASEAN dan komunitas internasional sebagai salah satu yang terbaik di kawasan Asia Tenggara. Karena itu, kita harus percaya diri untuk mengambil inisiatif dalam perkara ini. Kita adalah negara terbesar di Asia Tenggara.

Ketiga, krisis ini juga merupakan ajang uji coba kesiapan ASEAN menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015. Berdasar informasi yang penulis peroleh dari diplomat RI di Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam, sebagian pengungsi di Laut Andaman itu diatur agen tenaga kerja ilegal yang hendak menyalurkan mereka ke Malaysia dan Australia. Bila bisnis ilegal tersebut tidak kita cari solusinya sekarang, bisa diperkirakan jumlah arus tenaga kerja itu terus bertambah saat MEA diberlakukan.

MEA 2015 adalah sebuah peluang sekaligus tantangan besar. Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, bisa menjadikan krisis Rohingya sebagai pintu masuk untuk menciptakan model dalam mengantisipasi tenaga kerja ilegal. Berdasar pengalaman krisis ini, hak asasi manusia harus dipakai sebagai standar dalam segala bentuk kerja sama.

Sebagai salah satu langkah awal, Indonesia bisa mengusulkan agar negara-negara ASEAN meratifikasi Konvensi PBB 1951 dan Protokol PBB 1967 tentang status pengungsi. Dengan ini, kita akan memiliki pijakan yang jelas untuk penanganan pengungsi.

ASEAN harus berani menekan Myanmar untuk membicarakan kehidupan orang Rohingya karena selama ini Myanmar selalu menghindari diskusi tersebut. Kalau tidak, keberadaannya dalam MEA nanti hanya merugikan negara lain. Aturan mengenai sanksi tentu harus diperjelas bagi negara yang melanggar bentuk kerja sama dalam ASEAN ini. Jika kita tidak bisa mengambil tindakan bersama untuk masalah kemanusiaan yang mendesak tersebut, bagaimana kita mencapai tujuan komunitas ASEAN seperti menciptakan kedamaian dan keamanan regional serta mendorong peran ASEAN di tingkat global?