Gagasan.

Ancaman Over-Tourism dan Pariwisata yang Berkelanjutan

POSTED : 23 September 2017 | CATEGORY : Berita | TAGS: , ,

Tulisan ini telah terbit di Beritagar pada Kamis 21 September 2017

oleh Irine Yusiana Roba Putri, anggota Komisi 10 DPR RI yang membidangi pariwisata

Pada Januari-Juli 2017, pertumbuhan jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia menunjukkan angka yang luar biasa, yakni sekitar empat kali lebih banyak dibanding pertumbuhan regional dan global.

Pada periode tersebut, menurut data Kementerian Pariwisata, pertumbuhan jumlah wisman (wisatawan mancanegara) ke Indonesia adalah 23,53%, sementara rata-rata negara di tingkat ASEAN dan global masing-masing hanya 6%. Negara tetangga Malaysia pada periode sama mencatat pertumbuhan 0,87%, sementara Singapura dan Thailand hanya 4,48%.

Kita memang perlu mengapresiasi pencapaian itu, yang tentunya karena kerja keras Kementerian Pariwisata dan dukungan APBN yang besar untuk melakukan promosi. Namun, di sisi lain, kita juga perlu mengkritisi angka hebat itu, dalam kerangka kekhawatiran over-tourism (pariwisata yang berlebihan).

Fenomena over-tourism sudah terjadi di banyak destinasi global, yakni angka turis yang sangat tinggi dan melebihi daya tampung ekosistem pariwisata di tempat itu. Ketik saja “over tourism” di Google, dan Anda akan melihat banyak cerita tentang pengaruh negatif pariwisata terhadap destinasi global, yang aspeknya meliputi lingkungan alam, kehidupan warga lokal, pasokan air bersih, hingga artefak budaya.

Pertama kali muncul sebagai #overtourism di Twitter pada 2012, istilah ini mengacu pada destinasi di mana turis, tuan rumah, dan warga lokalnya merasakan adanya terlalu banyak turis sehingga kualitas kehidupan di daerah itu dan pengalaman di destinasi itu telah menurun di luar batas yang bisa diterima.

Over-tourism merupakan kebalikan dari responsible tourism (pariwisata yang bertanggung jawab), yang berkenaan dengan segala upaya untuk membuat destinasi menjadi tempat yang lebih baik untuk warga, lingkungan, dan turis.

Pariwisata yang berlebihan telah terjadi di banyak tempat seperti Mallorca dan Barcelona di Spanyol, New Orleans di AS, Santorini di Yunani, dan Reykjavik di Islandia. Ada aksi warga di beragam destinasi wisata populer yang menolak turis pada musim panas tahun ini, seperti aksi dua ribu warga Venice di Italia. UNESCO juga mengancam mencabut status Dubrovnik di Kroasia sebagai World Heritage Site jika tidak membatasi jumlah turis.

Pada Mei 2016 pemerintah Thailand juga menutup secara sementara Pulau Koh Tachai, yang terkenal sebagai destinasi menyelam dan pantai yang indah, karena kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam akibat banyaknya turis. Saat ditutup, pemerintah melakukan revitalisasi terumbu karang dan ekosistem lautnya.

Secara global, masalahnya mulai dari sampah dan limbah, fasilitas umum yang rusak, kerusakan situs bersejarah dan lingkungan alam, hingga mengganggu kenyamanan warga lokal, bahkan ada kasus-kasus sesama turis yang mengeluhkan kelakukan rombongan turis dari negara tertentu.

Untuk Indonesia, memang baru beberapa destinasi yang menemui ancaman seperti itu.

Liputan di Jakarta Post pada 7 September 2017 menunjukkan berbagai tantangan lingkungan yang dihadapi Labuan Bajo. Data WWF menunjukkan, Taman Nasional Komodo dan daerah sekitarnya mengumpulkan 13 ton sampah setiap hari. Delapan puluh persen di antaranya adalah sampah plastik. Untuk mengatasi ini, pengurus Taman Nasional Komodo menunggu bantuan kapal sampah dari Kementerian Perhubungan yang baru akan tiba pada 2018.

Berita lain tentang ancaman akibat over tourism di Indonesia ada di artikel New York Times, terbit 30 Agustus 2017, tentang Bali yang overcrowded dan ancaman serupa yang bakal terjadi di Gili Trawangan, Air, dan Meno. Jika tidak dibatasi, gili-gili di NTB terancam akan sangat ramai seperti Bali dan kehilangan ciri khasnya.

Pemasukan ekonomi dari Taman Komodo, Bali, dan gili-gili di NTB memang sangat besar.

Untuk Taman Komodo, pemasukan dari tiket masuk sebesar Rp 22 miliar selama 2016. Untuk Bali dan tiga gili itu sudah jelas fantastis. Membicarakan pertumbuhan ekonomi memang enak. Semakin banyaknya hotel dan restauran baru di Labuan Bajo, Gili Meno, Gili Air ,dan Gili Gede akan terus menambah jumlah turis dan pendapatan.

Tapi, siapa nanti yang bertanggung jawab terhadap dampak lingkungannya? Siapa yang akan mencuci “pakaian kotor” pariwisata Indonesia jika target 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019 tercapai?

Masih ingat dengan peristiwa rusaknya terumbu karang di Raja Ampat akibat ditabrak kapal pesiar pada 4 Maret 2017? Bila Raja Ampat yang sangat terkenal dan dibanggakan Presiden Joko Widodo saja bisa seperti itu, bagaimana dengan tempat wisata lain?

Dalam kasus terumbu karang itu, seharusnya kapal sebesar itu tidak boleh masuk ke Raja Ampat. Aturan dan penerapan yang ketat adalah solusi untuk mencegah kejadian serupa. Sebagai contoh, Raja Ampat mau dijadikan tempat wisata umum atau minat khusus? Jika ingin dijadikan wisata lingkungan dengan selam sebagai andalannya, kapal pesiar jelas tidak boleh masuk. Jika mau menjadi wisata umum, harus ada zonasi lagi, daerah mana untuk khusus selam, jet ski, kapal pesiar, dan sebagainya.

Memang, Kementerian Pariwisata tidak bisa bekerja sendiri, harus ada koordinasi dengan kementerian lain dan pemerintah daerah. Sebagai satu contoh, Kementerian Pariwisata bisa memberikan insentif kepada pemerintah daerah yang membuat regulasi dalam rangka pariwisata yang berkelanjutan dan disinsentif kepada pemerintah daerah yang belum melakukan, dalam kaitannya dengan anggaran promosi wisata.

Kita butuh peta jalan untuk mengatasi membludaknya wisatawan mancanegara, sehingga nanti tidak terlambat saat kerusakan sudah banyak terjadi. Dalam rapat kerja dengan Menteri Pariwisata pekan lalu, sudah ada wacana tentang pembatasan jumlah turis di beberapa destinasi. Sebagai anggota lembaga legislatif, saya hanya bisa mendorong dan mengajak berbagai pihak, terutama pemerintah, untuk serius tentang hal ini.

Hal lain yang sangat penting, andalan pariwisata Indonesia adalah wisata berbasis alam. Wisata jenis ini memiliki aspek carrying capacity (kapasitas menampung) dan limit of acceptable change (batas perubahan), yang harus dipertimbangkan jika destinasi alam itu ingin tetap lestari dan senantiasa memberikan pemasukan ekonomi.

Jumlah turis yang lebih sedikit bukan lantas berarti pendapatan devisa yang lebih sedikit. Ada strategi pendekatan “harga tinggi” supaya pemasukan ekonomi terjaga. Sebagai contoh, strategi yang dilakukan Malaysia terkait Pulau Sipadan, pulau yang dulu menjadi sengketa dengan Indonesia.

Pada 2016, wisata bahari Malaysia menyumbang devisa Rp 106,6 triliun, sementara devisa wisata bahari Indonesia hanya Rp 13,3 trilun. Salah satu andalan wisata bahari mereka adalah Pulau Sipadan.

Jumlah wisatawan ke Sipadan dibatasi, hanya boleh 100 turis satu bulan, dengan banyak penyelam yang mengantre. Beberapa tahun lalu, seluruh resor di pulau ini dibongkar. Saat ini tidak ada penginapan di Sipadan–pulau ini khusus sebagai tempat menyelam.

Dalam hal itu, Malaysia mementingkan kualitas bukan kuantitas, memilih kelestarian alam dan budaya bukan target jangka pendek. Hasilnya, nilai ekonominya pun bisa lebih besar dan bertahan. Inilah penerapan pariwisata yang berkelanjutan, wajah pariwisata abad ke-21.

Semoga semangat tinggi pariwisata Indonesia saat ini, apalagi menjelang ASIAN Games 2018, juga memunculkan perspektif jangka panjang dalam melihat ekonomi pariwisata, yakni pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.