Gagasan.

Mewujudkan Wisata Bahari yang Berkelanjutan

POSTED : 02 June 2017 | CATEGORY : Gagasan | TAGS: ,

Oleh: Irine Yusiana Roba Putri, anggota Komisi X DPR RI dan penyelam

Banyak pelaku pariwisata dan penyelam dari dalam maupun luar negeri kaget mendengar kerusakan serius terumbu karang di Raja Ampat (4/3) akibat kapal pesiar Caledonia Sky. Peristiwa rusaknya 1.600 meter persegi terumbu karang itu seharusnya menjadi peringatan keras tentang banyaknya pekerjaan rumah kita terkait wisata bahari.

Menurut saya, selain kesalahan pihak kapal, kesalahan juga terletak pada kita. Seharusnya kapal sebesar itu tidak boleh masuk ke Raja Ampat. Pemerintah perlu membuat peraturan yang tegas tentang ini. Hal ini sudah lama menjadi wacana, tapi belum juga terwujud.

Raja Ampat itu sebenarnya mau dijadikan tempat apa? Tempat wisata umum atau minat khusus? Jika ingin dijadikan wisata lingkungan dengan selam sebagai andalannya, kapal pesiar jelas tidak boleh masuk. Jika mau menjadi wisata umum, harus ada zonasi lagi, daerah mana untuk khusus selam, jet ski, kapal pesiar, dan sebagainya.

Bila Raja Ampat yang sangat terkenal dan dibanggakan Presiden Joko Widodo saja bisa seperti itu, bagaimana dengan tempat wisata lain?

Memang, ini bukan hanya wilayah Kementerian Pariwisata. Ini butuh koordinasi dengan pemerintah daerah dan kementerian lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Selain itu, yang juga mendesak adalah penerapan konsep wisata berkelanjutan atau sustainable tourism. Semangat ini perlu menjadi payung dalam setiap kebijakan dan kegiatan pariwsata. Kita bisa belajar dari kesuksesan wisata Malaysia dalam menerapkan hal ini.

Pada Februari 2017, Menteri Pariwisata Arief Yahya menunjukkan ironi wisata bahari Indonesia dibandingkan Malaysia. Pendapatan devisa Malaysia dari wisata bahari jauh lebih besar daripada Indonesia, padahal kekayaan laut kita jauh lebih besar daripada mereka.

Wisata bahari Malaysia menyumbang devisa Rp 106,6 triliun, sementara devisa wisata bahari Indonesia hanya Rp 13,3 trilun. Salah satu andalan wisata bahari mereka adalah Pulau Sipadan. Ya, pulau yang dulu menjadi sengketa dengan Indonesia itu kini menjadi surga bagi penyelam banyak negara, dengan pemasukan devisa yang sangat besar.

Jumlah wisatawan ke Sipadan dibatasi, hanya boleh 100 turis satu bulan. Beberapa tahun lalu, seluruh resor di pulau ini dibongkar. Saat ini tidak ada penginapan di Sipadan—pulau ini khusus sebagai tempat menyelam.

Selain Sipadan, Malaysia juga memiliki Mabul dan Kapalai, yang mereka sebut sebagai “tiga lokasi penyelaman terbaik di dunia”. Menurut saya dan sejumlah penyelam lain, Malaysia memang lebih unggul dibanding kita dalam “mengemas” wisata bahari mereka.

Namun, jika melihat sisi potensi atau keindahan bawah laut, kita sebenarnya jauh lebih unggul daripada mereka. Raja Ampat, Wakatobi, dan Derawan di Indonesia lebih indah dan beragam kekayaan lautnya dibanding tiga andalan Malaysia itu. Kita pun perlu belajar dari Malaysia supaya potensi besar itu bisa lebih mewujud. Apa rahasia mereka?

Selain kelayakan infrastruktur, kunci kesuksesan wisata bahari Malaysia adalah pariwisata berkelanjutan. Mereka mementingkan kualitas bukan kuantitas, kelestarian alam dan budaya bukan target jangka pendek. Hasilnya, nilai ekonominya pun bisa lebih besar dan bertahan. Inilah wajah pariwisata abad ke-21.

Di bawah payung pariwisata berkelanjutan, mereka membangun penginapan, tempat makan, dan kegiatan wisata yang ramah lingkungan dan warga lokal, secara sosial dan ekonomi.

Mereka memberikan pengalaman wisata bahari yang lebih kaya melalui sinergi dengan warga, budaya, dan lingkungan lokal. Penyesuaian dengan kondisi lokal, bukan generalisasi, adalah aturan utamanya.

Pariwisata jenis ini pun mendorong turis dan pelaku industri memberikan kontribusi positif bagi konservasi alam dan warisan budaya melalui berbagai kebijakan dan kegiatan.

Bagi wisatawan bahari, yang utamanya snorkeling dan selam, semangat keberlanjutan bagi alam-sosial-budaya adalah surga, yang harganya “mahal”. Inilah pekerjaan besar pemerintah pusat, pelaku industri, pemerintah daerah, warga, dan pihak terkait lainnya.

Mengapa pekerjaan besar? Karena saat melakukan itu semua, kita juga harus memperbaiki infrastruktur pendukung destinasi wisata, kesiapan sumber daya manusia, dan regulasi pemerintah terkait wisata.

Infrastruktur pendukung yang mendesak adalah akses transportasi dan lingkungan laut. Sebagai contoh, bagi wisatawan asing, akses menuju Raja Ampat, Wakatobi, dan Derawan jauh lebih memakan waktu dan energi daripada pergi ke Sipadan, Mabul, dan Kapalai. Pemerintah pusat memang sedang mengupayakan kemudahan akses ini melalui pembangunan jalan raya dan lalu lintas udara-laut.

Untuk lingkungan laut, saat ini polusi sampah dan praktik perikanan yang merusak masih terjadi. Sebagai contoh, lokasi selam di Laboan Bajo masih belum steril dari bom nelayan. Mereka umumnya nelayan dari luar Pulau Komodo. Di Raja Ampat juga, menurut warga sana, kebanyakan pengebom adalah nelayan dari Sorong. Kerusakan terumbu karang akibat kapal pesiar Caledonian Sky juga contoh akbar dari ini. Kedua tempat itu sudah menyandang status taman nasional, tapi bom ikan yang merusak ekosistem bawah laut masih saja terjadi.

Selain itu, situs-situs di bawah air berupa armada perang peninggalan Perang Dunia di Labuan Bajo, Morotai, dan Biak dalam kondisi terancam karena penjarahan. Bila tidak ada langkah tegas segera, situs bernilai sejarah tinggi bisa hilang.

Untuk SDM, contoh yang ingin saya angkat di sini berkaitan juga dengan regulasi wisata selam. SDM pemandu selam adalah hal krusial bagi penyelenggaraan wisata selam yang aman dan nyaman, karena olahraga ini memiliki risiko tinggi. Mereka pun punya tanggung jawab melestarikan alam dan makhluk laut yang ada—jangan sampai kehadiran manusia bersifat destruktif.

Sertifikasi pemandu dan usaha selam ini membutuhkan dukungan berupa Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) di kabupaten/kota yang bersangkutan. Pembuatan TDUP ini pun membutuhkan payung berupa Peraturan Daerah (Perda) di kabupaten/kota supaya aturannya lengkap dan kuat.

Namun, masih banyak destinasi wisata yang belum memiliki Perda tentang TDUP. Akibatnya, banyak usaha selam yang legalitasnya masih abu-abu, belum bisa disertifikasi. Padahal, sertifikasi pemandu selam adalah hal serius, taruhannya adalah nyawa penyelam. Kebutuhan akan hal ini menunjukkan perlunya sinergi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait.

Selain itu, sertifikasi pemandu snorkeling lebih mendesak dilakukan karena snorkeling lebih mudah dilakukan dan lebih banyak turisnya daripada wisata selam.

Hal lain yang harus diingat terkait sertifikasi pemandu snorkeling dan selam adalah pendekatannya tidak boleh target kuantitas (jumlah orang disertifkasi), karena kebutuhan jumlah pemandu di tiap destinasi bisa berbeda. Pendekatannya harus kualitas, yang disesuaikan konteks tiap lokasi. Sertifikasi pemandu snorkeling dan selam tidak bisa diperlakukan sama dengan sertifikasi pegawai hotel, misalnya.

Saat ini, Kementerian Pariwisata memang sudah melakukan banyak hal yang patut diapresiasi seperti pelatihan SDM pariwisata untuk pelaku industri, gerakan sadar wisata untuk warga lokal, dan pelatihan usaha wisata untuk pedagang dan pengusaha. Namun, pengembangan pariwisata memang butuh proses dan waktu, serta dukungan banyak pihak.

Semua hal di atas sesungguhnya berada di bawah payung pariwisata berkelanjutan. Jika seluruh pemangku kepentingan berkomitmen dengan semangat ini, kita tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menyamai atau menyalip wisata bahari Malaysia. Target kita bukan semata jumlah wisatawan asing yang masuk melalui imigrasi, tapi nilai pengalaman mereka, yang akan memengaruhi lama tinggal dan jumlah uang yang mereka belanjakan di sini.

Apa artinya banyak turis asing masuk tapi cuma tinggal sebentar dan tidak membelanjakan banyak uang?